6 Tempat Riya' Prespektif Imam Al-Ghazali
Menghindar dari jebakan riya’ atau pamer amal ibadah bukanlah hal yang mudah dilakukan. Orang yang melawan jebakan riya’ sejatinya sedang berperang melawan dorongan dari dalam diri sendiri.
Satu energi besar yang bercampur baur, sukar dipisahkan antara positif dan negatifnya. Persis seperti orang yang sedang menjalani misi besar yang harus melewati hutan penuh ranjau. Satu sisi, ia dituntut untuk terus berjalan, tak boleh berhenti apalagi kembali. Di sisi lain, ia seolah didorong mundur oleh sekian banyak ranjau yang tersembunyi.
Demikian halnya ibadah. Jebakan riya’ sangat banyak. Belum lagi perangkap kesombongan, gila popularitas (sum’ah), cari perhatian (tamalluq), dan semisalnya. Tetapi, hal itu bukan alasan untuk menghentikan ibadah.
Ibadah harus tetap dijalankan perlahan seraya membenahinya secara bertahap. Nah, untuk pembenahan ini, perlu kiranya mengenal dari mana saja potensi riya’ dapat muncul. Bukankah absurd berhasil membersihkan diri dari sesuatu yang tak dikenal akar-pangkalnya? Imam al-Ghazali berkata:
فمن لا يعرف الشر ومواقعه لا يمكنه أن يتقيه
Artinya, “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya.” (Abu Hamid al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102).
Dalam Kitab al-Arba’in halaman 100-101 Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) menjelaskan secara rinci 6 tempat yang sangat berpotensi menumbuhkan riya’.
Pertama, dalam bentuk badan dan raut muka. Al-Ghazali menyebut beberapa contoh terkait ini. Seperti ‘menampakkan’ badan yang kerempeng dan lemah misalnya, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan semisalnya. Termasuk juga memperlihatkan raut muka sedih, supaya terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia. Semua itu bagian dari riya’ yang diwanti-wanti al-Ghazali.
Kedua, dalam penampilan. Contoh kecil, seperti mencukur kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona sehingga banyak orang terpukau, menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secar elegan supaya tampak lebih berwibawa, menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya, dan hal-hal serupa.
Ketiga, dalam style pakaian. Seperti mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, tiada tujuan lain kecuali agar terlihat lebih keren, misalnya. Berbaju lusuh dengan beberapa tambalan juga termasuk salah satunya, bila tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.
Keempat, riya’ dengan ucapan. Hal ini termasuk yang kerapkali menjebak para dai. Jadi, sebaiknya berhati-hati. Karena, orang alim pun tidak terlepas dari penyakit riya’. Wajar saja bila baginda Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, Min fitnatil âlim, an yakunal kalam ahabba ilaihi min al-istima’, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).
Kelima, riya’ dalam perbuatan. Seperti memperlama rukuk dan sujud, misalnya, sedekah, puasa, haji, dan lain sebagainya. Semua itu sangat potensial untuk memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh kita pun ketika melenceng dari niat luhur kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.
Keenam, riya’ juga bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, dan guru yang bisa dipamerkan. Seperti orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, sehingga ia memiliki branding diri yang baik di mata umat: misalnya dekat dengan orang alim, sering bertabaruk, dan seterusnya. Membaca sekilas penjelasan al-Ghazali tentang 6 tempat riya’, seolah untuk beramal shaleh orang menjadi sangat ribet.
Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah. Bukan karena Allah mempersulit akses menuju ke sana, tetapi karena hati mnusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme dan mabuk dunia, sehingga ia sulit menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya. Sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh berkecil hati.
Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya. Kuncinya, adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. Wallahu a’lam bisshawab.
Ust. Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur
Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/6-tempat-riya-perspektif-imam-al-ghazali-3PL6t
Posting Komentar