Sejarah dan Karakter Tasawuf di Nusantara
Ada dua karakter tasawuf yang ada di Nusantara, yaitu tasawuf falsafi (teoretis) dan tasawuf amali (praktis). Keduanya sudah berada di Nusantara sejak pertama kali Islam masuk ke wilayah ini (abad ke-13 M). Di antara buktinya Yaitu keberadaan kitab at-Tuhfah al-Mursalah karya Al-Burhanpuri, Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jili, Ihya Ulumiddin karya Al-Ghazali, dan sebagainya.
Hal ini disampaikan oleh Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) dalam seminar web site Road to Muktamar Ke-34 seri 7 yang diselenggarakan oleh NU Online bekerjasama bersama Universitas Nahdaltul Ulama Indonesia (Unusia), pada Rabu (1/12/2021) malam.
"Bahkan rencana Insan Kamil karya al-Jili saat itu menarik para tokoh-tokoh. Tidak cuma bagi Walisongo, tapi terhitung para raja, bangsawan, dan lain sebagainya," ungkap Gus Ulil.
Lebih lanjut Gus Ulil menjelaskan, di antara dua karakter tasawuf tersebut, yang paling berpengaruh adalah amali. Hal itu dibuktikan bersama popularitas kitab Ihya Ulumiddin karya Al-Ghazali. Berikutnya, ini yang menjadikan Al-Ghazali jadi kiblat tasawuf NU tak selain Imam Junaidi al-Baghdadi. "Meskipun KH Hasyim Asy’ari sendiri dalam kitab Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah-nya menggunakan tasawuf Imam Abul Hasan asy-Syadzili," imbuhnya.
Perkembangan tasawuf Nusantara
Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali M Abdillah mengatakan, dalam perkembangannya, tasawuf di Nusantara mengalami dinamikanya masing-masing. Dari mulai pra kolonial sampai pasca kolonial. Kiai Ali memaparkan pertumbuhan tasawuf sejak abad ke-16 sampai abad ke-21.
"Tokoh-tokoh penyebar ajaran tasawuf abad ke-16 sampai 18 di antaranya adalah Syekh Hamzah al-Fansuri yang merupakan ulama pengamal tarekat dan populer dengan rencana tasawuf falsafinya dengan istilah wujudiyah," paparnya.
Selain al-Fansuri, ada pula Syekh Syamsuddin al-Sumatrani yang merupakan ulama pelopor ajaran Martabat Tujuh. al-Sumatrani terhitung dikenal sebagai mursyid Tarekat Naqsabandiyah dan seorang tokoh yang gigih dalam melawan penjajah, tercatat dalam peristiwa perlawanan pada Portugis di Malaka.
Berikutnya, dilanjut dengan Syekh Abdurrauf al-Singkili yang meneruskan penyebaran ajaran Martabat Tujuh dan modifikasi tarekat Nasyabandiyah sampai berkembang pesat di Nusantara. Kemudian dilanjut bersama Syekh Yusuf al-Maqassari yang mengamalkan tarekat Samaniyyah atau dan terhitung ajaran Martabat Tujuh.
Selanjutnya, ada Syekh Abdussamad al-Palimbani dan Syekh Nafis al-Banjari. Pada abad ke-19 M, praktik tasawuf terasa mendapat pengawasan berasal dari Belanda dikarenakan ajaran tasawuf (tarekat) diakui bisa membahayakan eksistensi penjajah di Nusantara. Di antara usaha yang dilakukan Belanda adalah dengan mengangkat Sayid Utsman sebagai mufti dan mengeluarkan fatwa berkenaan larangan ajaran tasawuf.
"Sejak itu Belanda mempunyai basic untuk melarang ajaran Martabat Ttujuh dan tarekat-tarekat di seluruh wilayah Nusantara,” ujar Kiai Ali. Lebih lanjut, Kiai Ali mengungkapkan, termasuk kontrol yang dilakukan Belanda saat itu adalah adanya keharusan izin dari pihak penjajah kalau ada orang ingin mengajarkan tasawuf. “Itu pun (kegiatannya) dapat tetap diawasi oleh Belanda,” imbuhnya.
Memasuki abad ke-20 kala masih dalam masa kolonial, ditandai dengan banyak ulama yang secara sembunyi-sembunyi mengamalkan taswawuf. Termasuk pendiri KH Hasyim Asy’ari sendiri yang padahal pengamal tarekat Naqsabandiyah. Baru serelah Indonesia merdeka, tasawuf mulai terbuka diajarkan dan dipraktikkan.
“Sekarang banyak pengajian online mengajarkan tasawuf, juga organisasi-organisasi yang rutin mengajarkannya seperti Jatman (Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah,” pungkas Kiai Ali
Sumber: https://nu.or.id/nasional/karakter-dan-sejarah-tasawuf-di-nusantara-YwoVU
Posting Komentar