Biografi Lengkap KH. Hasyim Asy'ari, Pendiri Nahdlatul Ulama
Hadratussyaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, adalah seorang ulama besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama ( NU ).
Beliau merupakan pendiri salah satu pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada tahun 1899, yaitu Pondok Pesantren Tebu Ireng.
Kemudian, pada tahun 1926, berdiri sebuah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. KH Hasyim Asy'ari merupakan salah satu tokoh penting dalam berdirinya organisasi tersebut.
Biografi Singkat
Nama : KH. Hasyim Asy'ari
Kelahiran: 14 Februari 1871, Tambakrejo, Jombang
Meninggal: 25 Juli 1947, Kabupaten Jombang
Pasangan: Khadijah binti Ya'qub
Anak: Abdul Wahid Hasyim, Khoiriyah, Muhammad Ya’kub, Abdul Qodir, Ubaidillah, lainnya
Buku: Sang kiai: fatwa K.H.M. Hasyim Asy'ari seputar Islam dan masyarakat, lainnya
Pendidikan: Pondok Pesantren Langitan, dan lainnya.
Gelar : Pahlawan Nasional
Berikut ini cahsantri.com akan menjelaskan Biografi lengkap dari sang maestro pelopor berdirinya NU dan Tokoh dibalik kemerdekaan Indonesia, yang dikutip dari beberapa sumber.
Image KH. Hasyim Asy'ari |
Biografi Lengkap KH. Hasyim Asy'ari
KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri.
Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu.
Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua arah sekaligus, yaitu bangsawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.
Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.
Masa Kecil KH. Hasyim Asy'ari
Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang).
Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.
Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.
Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu.
Tujuh bulan kemudian, Nafisah meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu meninggal dunia. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.
Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan bernama Nafiqah, putri dari Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.
Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hasyim hingga akhir hayatnya.
Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari
Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa,
“Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”
Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun.
Melalui ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.
Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren.
- Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo)
- Lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban).
- Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya)
- Kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil.
- Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim.
Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada Kiai Kholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsir dan Hadish.
Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah.
Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari :
- Syaikh Ahmad Khatib Al-Minankabawi
- Syaikh Nawawi al-Bnatani dan
- Syaikh Mahfuz al-Tirmisi.
Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu. Ketiga Ulama tersebut berasal dari Indonesia. Merekalah yang memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.
Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah :
- Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India)
- Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah),
- Al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria)
- KH. Abdul Wahhab Chasbullah (Tambakberas, Jombang).
- K. H. R Asnawi (Kudus)
- KH. Dahlan (Kudus)
- KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang)
- KH. Saleh (Tayu).
Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).
KH. Hasyim Asy'ari & Nahdlatul ulama |
Sang Pejuang Islam, KH Hasyim Asy'ari
Setelah mendirikan Pondok Pesantren Tebu Ireng pada tahun 1899, kemudian pada 31 Januari 1926 beliau mendirikan sebuah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU), bersama beberapa ulama lainnya.
Berdirinya NU pada saat itu karena situasi dunia Islam yang sedang dilanda pertentangan paham.
Tujuan didirikannya NU pada saat itu adalah untuk membuat interaksi dan komunikasi dunia Islam menjadi lebih mudah dipahami.
Perjuangan KH Hasyim Asy'ari Pada Masa Penjajahan
Pondok Pesantren Tebu Ireng yang saat itu berdekatan dengan Pabrik Cukir yang dibuat oleh kolonial Belanda pada tahun 1835, merupakan sebuah perlawanan atas modernisasi dan industrialisasi penjajah untuk memeras rakyat.
Beliau juga mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia, yang pergi haji dengan fasilitas Belanda.
Karena sifatnya tersebut, KH Hasyim Asy'ari pernah diancam akan dibunuh dan Pondok Pesantren miliknya, yaitu Tebu Ireng akan dibakar habis.
KH Hasyim Asy'ari berjuang untuk Indonesia dengan mengeluarkan resolusi jihad yang berhasil memunculkan gerakan perlawanan terhadap Belanda dan sekutu.
Salah satunya adalah saat pertempuran yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.
Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari
Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain :
At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.)
Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama (Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka pegiat NU.)
Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah ( Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.)
Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama ( Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.)
Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang terang tentang kecintaan pada utusan Tuhan, Muhammad SAW).
Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi. (Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.)
Risalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah. (Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnah dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.)
Mawaidz. ( Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal. Demikian juga Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat, edisi 15 Agustus 1959.)
(Sumber : Tebuireng.Online)
Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut.
Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama yang mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.
Akhir Hayat KH Hasyim Asy'ari
Menurut sejarah dari beberapa sumber, KH Hasyim Asy'ari menikah tujuh kali dan semua istrinya adalah seorang putri dari ulama.
Salah satu putranya yaitu, KH Abdul Wahid Hasyim yang merupakan seorang Perumus Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Menteri Agama.
Sedangkan cucunya yaitu, KH. Abdurrahman Wahid atau akrab dikenal dengan sapaan Gusdur, merupakan Presiden Indonesia ke-4.
KH Hasyim Asy'ari wafat pada 21 Juli 1947, kemudian jenazahnya dikebumikan di Jombang, Jawa Timur. Lalu pada tahun 1964, beliau diberikan penghargaan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional oleh Pemerintah Indonesia.
Itulah biografi singkat KH Hasyim Asy'ari, seorang tokoh agama yang terkenal pada saat itu dan merupakan seorang pejuang pergerakan kemerdekaan.
(Sumber : limapagi)
Posting Komentar